new life

Monday, November 10, 2008

Kaca Spion....


Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan SoemantriBrodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan.Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh daribayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kinirasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat sayagundah. Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir keperpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yangtidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitubahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hatiriang.Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gadodi sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gadopaling enak seanteroJakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambahsatu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPOsebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia. Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian MediaIndonesia dan Metro TV.Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilanyang cukup, punya mobil sendiri, danpunya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas danmenjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spionmobil itu patah.Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawahkolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuahgarasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepadakami. D engan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempattidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar.Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat,akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu bajumemakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebihsering cuma satu. D engan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harusbisa bertahan hidup sebulan.Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambiluang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untukitu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itudatang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spionmobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpangdi sebuah garasi? Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibujuga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobilmewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya.Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adulayangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulunganbenang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yangterbalaskan.Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya didalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yangtidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliahbegitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat sayatakuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ''AndyNoya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamusudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. D ulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yangenak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetapgundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras."Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orangkaya itu jahat.
Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati sayasetelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah.Berubah menjadi sombong.Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalamkehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil sayaditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujianyang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tuadengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi.Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atasketeledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agarsaya tidak menuntut ganti rugi.Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya.Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir daripengalaman hidup yang pahit.

Best of Regards ...Andy F Noya
posted by new life at 10:52 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home